Rabu, 06 Oktober 2010

Muhammad Jusuf kalla

Muhammad Jusuf Kalla lahir di Wattampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942. Ia menyelesaikan pendidikan pada Fakultas Ekonomi, Universitas Hasanuddin Makassar tahun 1967 dan The European Institute of Business Administration Fountainebleu, Prancis (1977). Pada Oktober 2004 menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) berhasil sebagai pemenang Pemilu. SBY dilantik sebagai Presiden RI ke-6 dan M. Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI ke-10. Pasangan ini menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama kali dipilih rakyat secara langsung. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), M. Jusuf Kalla dipercayakan selama kurang dari setahun (1999-2000) sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI merangkap Kepala Bulog. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) ia dipilih menduduki jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Jusuf Kalla kemudian mengundurkan diri sebagai Menko Kesra RI sebelum maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

William Soeryadjaya

William Soeryadjaya adalah pendiri PT Astra Internasional, seorang pekerja keras, ulet dan pantang menyerah untuk membangun kerajaan bisnisnya.Bagaimanakah kisah perjalanan bisnis taipan ulung anak pedagang Majalengka yang bernama Asli Tjia Kian Liong itu? Bisnis yang dilakoni pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 20 Desember 1922, itu sesungguhnya diawali dengan penuh pahit dan getir. William telah menjadi yatim piatu pada usia 12 tahun. Menginjak usia 19 tahun, sekolahnya di MULO, Cirebon, putus di tengah jalan. Ia kemudian banting setir menjadi pedagang kertas di Cirebon.


Selain berdagang kertas, William muda juga berdagang benang tenun di Majalaya. Tak begitu lama, ia beralih menjadi pedagang hasil bumi, seperti minyak kacang, beras, dan gula. "Dengan berdagang, saya dapat membantu kehidupan saudara-saudara saya," ujar anak kedua dari lima bersaudara keluarga pedagang ini, suatu ketika.

Dari perolehan hasil berdagang itu, William muda lalu melanjutkan studinya ke Belanda, dengan masuk ke Middlebare Vakschool V/d Leder & Schoen Industrie Waalwijk, sekolah industri yang mengajarkan penyamakan kulit. Begitu kembali ke Tanah Air tahun 1949, William mendirikan industri penyamakan kulit, yang kepengurusannya dia serahkan kepada seorang kawannya. Tiga tahun kemudian, William mendirikan CV Sanggabuana, bergerak di bidang perdagangan dan ekspor-impor. Cuma cilakanya, dalam menggeluti bisnis ini, ia ditipu rekannya. "Saya rugi jutaan DM," ujar William.

Lima tahun kemudian, atau tepatnya tahun 1957, bersama Drs Tjia Kian Tie, adiknya, dan Lim Peng Hong, kawannya, William mendirikan PT Astra Internasional Inc. Bisnis perusahaan barunya ini pada mulanya hanya bergerak dalam pemasaran minuman ringan merek Prem Club, lalu ditambah dengan mengekspor hasil bumi. Dalam perkembangan berikutnya, lahan garapan usaha astra meluas ke sektor otomotif, peralatan berat, peralatan kantor, perkayuan, dan sebagainya. Astra tumbuh bak "pohon rindang", seperti yang ditamsilkan William sendiri.

Keberhasilan Astra ketika itu, diakui William, tidak terlepas berkat ada kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru, yang memberi angin sejuk kepada dunia usaha untuk berkembang. Salah satu contohnya tahun 1968-1969, Astra diperkenankan memasok 800 kendaraan truk merek Chevrolet. Kebetulan, saat itu pemerintah sedang mengadakan program rehabilitasi besar-besaran. Saking banyaknya yang membutuhkan, kendaraan truk itu laris bak pisang goreng. Apalagi, ketika itu terjadi kenaikan kurs dollar, dari Rp 141 menjadi Rp 378
per dollar AS.

"Bisa dibayangkan berapa keuntungan kami," ujar Oom Willem, panggilan akrabnya, kala itu. Sejak itu pula Astra kerap ditunjuk sebagai rekanan pemerintah dalam menyediakan berbagai sarana pembangunan.

Dalam perjalanan selanjutnya, Astra tak hanya sebatas memasok, tetapi juga mulai merakit sendiri truk Chevrolet. Lalu, mengageni dan merakit alat besar, Komatsu, mobil Toyota, dan Daihatsu, sepeda motor Honda, dan mesin fotokopi Xerox. Yang berikutnya pula, akhirnya lahan usaha yang baru ini menjadi "mesin uang" dari PT Astra Internasional Inc.

Masih ada satu bisnis Astra yang lain, yaitu agrobisnis. Astra yang omzetnya pada tahun 1984 mencapai 1,5 miliar dollar AS masuk ke agrobisnis dengan membuka kawasan pertanian kelapa dan casava seluas 15.000 hektar di Lampung. Namun, bukanya tanpa alasan Astra masuk ke sektor agrobisnis. "Agrobisnis yang mengusahakan peningkatan produksi pada sektor pertanian itu merupakan gagasan pemerintah yang patut ditanggapi berbagai kalangan wirausahawan Indonesia," kata William dalam ceramahnya di Universitas Katholik Parahyangan tahun 1984.

Pada tahun itu juga Astra membeli Summa Handelsbank Ag, Deulsdorf, Jerman. Pengelolaan bank yang tak ada kaitannya dengan bisnis Astra ini diserahkan kepada putra tertuanya, Edward Soeryadjaya, sarjana ekonomi lulusan Jerman Barat.

Di bank ini William mengantongi 60 persen saham yang dibagi rata dengan Edward. Cuma, sayangnya, Edward kurang berhati-hati dalam menjalankan roda usaha perbankan itu. Edward terlalu royal dalam mengumbar kredit. Akibatnya, tahun 1992 bank ini dilanda utang yang begitu besar dan untuk melunasinya, terpaksa William melepas kepemilikannya di Astra.

William pasrah. Ia selalu kembalikan kepada Tuhan. Ia selalu berpegang pada prinsip: Manusia berusaha, Tuhan menentukan. Yang paling penting baginya ketika itu adalah nasib para karyawan dan nasabah Bank Summa. Ia teramat sedih membayangkan pegawai sebanyak itu harus kehilangan mata pencahariannya. Oleh karenanya ia rela menjual saham-sahamnya di Astra guna memenuhi kewajiban Bank Summa.

Banyak spekulasi yang berkembang ketika Oom Willem terpaksa menjual sahamnya di Astra. Spekulasi yang banyak diyakini orang adalah adanya rekayasa pemerintah untuk menjatuhkan Oom Willem. Namun, Oom Willem sendiri tidak pernah merasa dikorbankan oleh sistem. Semua itu dianggapnya sebagai konsekuensi bisnis. Ia tidak mau larut dalam tekanan spekulasi dan keluhan. Melainkan ia pasrah dengan tulus kepada kehendak Tuhan. Dengan ketulusan itu pula, ia terus melangkah maju ke depan dengan pengharapan yang hidup. Dan, kini, salah satu kepeduliannya yang terbesar adalah bagaimana Astra dapat terus berperan sebagai agen pertumbuhan ekonomi nasional, yang antara lain dapat membuka lapangan kerja lebih luas.

Memang, membuka lapangan kerja, adalah salah satu impiannya yang tetap membara dari dulu hingga kini. Sebuah impian dan obsesi yang dilandasi kepeduliannya kepada sesama. "Salah satu hasrat saya dari dulu adalah membuka lapangan kerja," katanya. Apalagi kondisi Indonesia saat ini, yang dilanda krisis ekonomi, yang berakibat bertambahnya pengangguran.

Impian inilah yang mendorong Omm Wilem membeli 10 juta saham PT Mandiri Intifinance. Di sini, ia mengumpulkan dana untuk diinvestasikan ke dalam pengembangan usaha petani-petani kecil dan small and medium enterprises (usaha-usaha kecil dan menengah). Agar dapat menciptakan lapangan-lapangan kerja baru dan meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya akan mengangkat bangsa ini dari keterpurukan.

Namun, yang patut dipuji dari sikap William semasa kejayaannya di Astra adalah kepeduliannya terhadap rekannya, pengusaha kecil. Dalam suatu tulisannya di harian Suara Karya, "Peranan Pengusaha Besar Dalam Kerja Sama dengan Pengusaha Kecil demi Suksesnya Pelita IV", mengetengahkan bentuk-bentuk kerja sama antara yang besar dan yang kecil. Misalnya, menjadikan perusahaan besar sebagai market dari perusahaan kecil dalam bentuk leadership dan menjadi perusahaan kecil sebagai bagian dari service network produk perusahaan besar.

Sikapnya yang lain, yang juga patut ditiru, adalah kepeduliannya terhadap dunia pendidikan. William merelakan tanahnya di Cilandak, Jakarta Selatan, terjual dengan harga "miring" bagi pembangunan gedung Institut Prasetya Mulya, lembaga pendidikan yang dimaksudkan mencetak tenaga-tenaga manajer yang andal. Sejumlah konglomerat juga ikut membidani lembaga. William sendiri kala itu duduk sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina.

Sikap religiusnya pun merupakan salah satu contoh yang baik dalam menjalankan roda usahanya. Penganut Protestan yang teguh ini percaya betul bahwa keberhasilan yang diperolehnya , selain kerja kerasnya bersama semua karyawan, juga berkat rahmat dari Tuhan, bukan semata dari dirinya.

Semangatnya dalam menempuh bisnis pun patut dijadikan panutan. Kalau ia terjegal dalam kancah bisnis, itu bukanlah akhir dari perjalanan bisnisnya, melainkan justru awal dari kebangkitannya.
William Soeryadjaya, pendiri PT Astra Internasional Inc (sejak tahun 1990, Tbk), meninggal dunia hari Jumat (2/4/2010) pukul 22.43 di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. William sebelumnya beberapa kali dirawat karena sakit. Terakhir, ia dirawat tanggal 10 Maret dan sejak hari Kamis (1/4/2010) dirawat di unit rawat intensif (ICU). Jenazah disemayamkan di rumah duka RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, hingga Senin (5/4/2010).

William yang lahir di Majalengka, Jawa Barat, 20 Desember 1922, adalah pribadi yang rendah hati dan bersahaja. Keberhasilannya membangun Astra Internasional tidak pernah diklaim sebagai keberhasilan dirinya. Ketika ditanya mengenai keberhasilannya, ia mengatakan, ”Keberhasilan Astra berkat kerja keras semua karyawan dan rahmat Tuhan, bukan karena keberhasilan saya pribadi.”

William juga seorang visioner yang seakan mengerti ke mana bisnis akan bergerak. Ia juga adalah salah satu pelopor modernisasi industri otomotif nasional. Ia membangun jaringan bisnis dengan core product di sektor otomotif. Namun, memang, pertumbuhan bisnisnya tidak pernah lepas dari campur tangan pemerintah.

Keberhasilannya dalam berbisnis menjadikan ia menduduki banyak jabatan penting di sejumlah perusahaan, terutama yang berbasis otomotif.

William menjadi orang pertama Asia yang menjadi anggota Dewan Penyantun The Asia Society yang didirikan John D Rockefeller III di New York, AS, tahun 1956. Ia menarik diri dari dunia bisnis tahun 1992 ketika Bank Summa milik anaknya, Edward, kolaps dan harus dilikuidasi sehingga memaksanya melepas 100 juta lembar saham Astra Internasional guna melunasi kewajibannya. Beliau meninggal pada usia 78 tahun tepatnya hari Jumat (2/4/2010).

http://kolom-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-william-soeryadjaya-pendiri-pt.html

SUDONO SALIM

SUDONO SALIM

Di cakrawala ekonomi dan bisnis Indonesia, nama Liem Sioe Liong sudah menjadi legenda. Banyak yang lupa: hampir setengah abad yang lalu, pemuda perantau dari Futsing, Hokkian, Cina Selatan, itu memulai upayanya dengan magang pada seorang paman yang berdagang jagung, beras, kedelai -- antara lain.

Lahir sebagai Lin Shao-liang, anak kedua dari tiga bersaudara ini mengikuti jejak abangnya, Liem Sioe Hie, yang sudah mendarat di Jawa sembilan tahun lebih awal. ''Dua tahun pertama di Indonesia amat berat,'' tutur Shao-liang, yang belakangan dikenal juga dengan nama Sudono Salim.

Ketika Jepang datang, ia mulai berdagang minyak kacang kecil- kecilan di Kudus, Jawa Tengah. Kemudian mencoba nasib sebagai penyalur cengkih di kota sigaret kretek itu. Lalu, datanglah nasib baik serentak dengan saat pecahnya Revolusi 1945. Liem membantu Republik, yang membutuhkan banyak dana melawan Belanda.

Tetapi, ketika Jepang menyerah, ia sempat disrempet musibah. Berkarung-karung uang Jepang miliknya mendadak dinyatakan tidak laku, karena pemerintah menerbitkan uang baru. Ketika itu, tiap orang menerima satu rupiah uang baru tadi. ''Keluarga saya delapan orang, jadi dapat delapan rupiah, wah, edan,'' katanya mengenang.

Liem lalu mengubah taktik dagangnya. ''Bisnis itu tidak boleh atas dasar uang, tapi harus atas dasar barang,'' ia seperti memberi nasihat. Sejak itu pula ia lebih memusatkan usaha diversifikasi. Toh, ia merasa tidak bisa bergerak lincah di zaman Bung Karno. ''Dulu dagang susah, orang banyak bicara,'' katanya. ''Tapi sejak Orde Baru, dipimpin oleh Presiden Soeharto, saya ambil keputusan: apa yang harus dilakukan sebagai orang dagang.'' Dengan Pak Harto, Liem mengaku baru kenal setelah 1950-an, di Semarang.

Kini, bos perusahaan induk Liem Investors di Hong Kong, dan PT Salim Economic Development Corporation (SEDC) di Jakarta, itu sering disebut sebagai ''pengusaha terkaya nomor enam di dunia''. Jumlah hartanya mengalahkan keluarga Rotschild dan Rockefeller. Pada 1984, kekayaan kelompok ini ditaksir sekitar US$ 7 milyar. Artinya, sama dengan jumlah uang yang beredar di Indonesia ketika itu yang, menurut beberapa sumber, meliputi sekitar Rp 7 trilyun.

Liem pindah ke Jakarta pada 1951, dan mulai mengembangkan usahanya. Mula-mula ia mendirikan pabrik sabun, kemudian pabrik paku, ban sepeda, pengilangan karet, kerajinan, dan makanan. Ia juga bergerak di bidang pengusahaan hutan, bangunan, perhotelan, asuransi, perbankan, bahkan toko pakaian. Kunci sukses baginya adalah jasa. ''Kalau jasa itu jalannya betul, otomatis bisa jual lancar,'' katanya, dalam bahasa Indonesia yang tetap patah-patah.Namun, Liem keberatan usahanya dikatakan menerobos ke semua penjuru bisnis. ''Orang suka bilang ini-itu punya Liem Sioe Liong. Gila apa? Tapi kalau orang lain suka pakai nama Liem, bisa bilang apa?'' katanya kepada majalah TEMPO, media massa Indonesia pertama yang mewawancarainya, Maret 1984.

Kelompok ini juga mengaku tidak selamanya bernasib mujur. ''Dihitung-hitung, ada sekitar sepuluh perusahaan yang kami tutup, karena kalah bersaing,'' ujar Anthony Salim, nomor dua dari empat putra Liem -- yang sering disebut-sebut sebagai ''putra mahkota''. Paling tidak terdapat sekitar 37 perusahaan yang bernaung di bawah SEDC.

Selain dikenal sebagai ''raja bank'', kelompok Liem juga disebut-sebut sebagai satu di antara ''raja semen'' di dunia. Dalam setiap usaha patungan, kelompok ini selalu menonjol sebagai pemilik saham terbesar. Dan langkah itu bukannya tanpa pertimbangan. Dengan memiliki 51% saham perusahaan Hagemeier di Belanda, misalnya, ''Kami bisa menentukan policy perusahaan,'' kata Liem. ''Juga supaya bisa mengawasi ekspor dari Indonesia, misalnya hasil bumi.''

Sejak 1982, gebrakan kelompok Liem di luar negeri semakin mantap. Ia membeli, antara lain, 80% saham Hibernia Banchares, San Francisco, disusul 54,4% saham Shanghai Land Investment. Tetapi, Maret 1986, ia tersandung dalam usaha penanaman modal di Provinsi Fujian, RRC, bekas daerah kelahirannya.

Di kawasan itu, di sebuah desa peternakan tiram di Teluk Meizhou, terdapat proyek pengilangan minyak senilai US$ 800 juta. Usaha ini merupakan patungan antara China Fujian Petroleum Co., China Petrochemical International Corp., Fujian Investment & Enterprise Ltd., dan China Pacific Petroleum Ltd. Perusahaan terakhir ini, menurut surat kabar The Asian Wall Street Journal, didaftarkan di Liberia, dan ''dikontrol oleh Mr. Liem''.

Sayang, usaha patungan itu terkatung-katung, paling tidak sudah setahun. Konon, pihak RRC terlalu banyak menuntut. Mereka juga, yang memang kurang berpengalaman dalam menyelenggarakan bisnis patungan, bingung oleh melonjaknya harga barang-barang impor yang dibutuhkan kilang minyak tersebut. Pihak Liem sendiri, menurut koran tersebut, tidak begitu ambil pusing dan siap-siap menarik diri.

Menjelang usia 70, taipan yang juga sering dipanggil sebagai ''Oom Liem'' ini mengaku tidak lagi bekerja terlalu keras. ''Setiap hari saya masuk kantor jam sepuluh pagi, lalu terima tamu,'' katanya. Ia tidak merokok, juga tidak menjamah minuman keras. Kegemarannya terbatas: jogging tujuh kilometer setiap pagi, dan, kabarnya, mengunjungi klub malam. ''Saya juga sudah jarang sekali teken cek,'' katanya.

Lalu, siapa yang akan menggantikan tahta si Oom? ''Semua anak sama,'' katanya. ''Yang perlu di sini teamwork. Yang bilang Anton bakal ganti saya itu orang luar.'' Ia, memang, seperti lebih menekankan perlunya tenaga profesional. Hal ini tampak, antara lain, pada keterlibatan Liem memelopori dan menangani beberapa lembaga pendidikan, misalnya Yayasan Tarumanegara dan Prasetiya Mulya.  .

http://allah-semata.org/forum/index.php?topic=147.0

Sukyanto Nugroho - es teller 77

Sukyatno Nugroho   - Es Teler 77
Anak yang bodoh di sekolah belum tentu tidak sukses dalam hidupnya di kemudian hari. ?Sekolah saya enggak pintar, bahkan enggak suka sekolah,? kenang Presiden Direktur Es Teler 77 tentang masa kecilnya. Dua kali tidak naik kelas, dan yang naik pun berada di rangking 40-an di antara 50 siswa. Karena itulah SMA-nya cuma tiga bulan.

Akhirnya kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, ini dikirim ayahnya, Hoo Ie Kheng, ke Jakarta, kepada pamannya. Ke Ibu Kota dengan harapan melanjutkan sekolah, tapi apa kata sang paman? ?Enggak usah sekolah, nanti saya latih dagang saja,? ujar Sukyatno menirukan ucapan pamannya. Beberapa tahun kemudian, Sukyatno sukses dengan Es Teler 77 yang juga memiliki cabang di Malaysia, Singapura, Australia, dengan total pekerja tiga ribu orang. Dan penyandang gelar doktor honoris causa ini malah berceramah di banyak universitas tentang bisnis franchise.

Awalnya, pria yang dulu bernama Hoo Tjioe Kiat ini menjadi penjaja (salesman) macam-macam barang: kancing baju, sisir, barang elektronik. Setiap hari dari Pasar Pagi, Jakarta Barat, ia naik oplet atau sepeda ke Jatinegara dan Jalan Sudirman, keduanya di Jakarta Pusat ?yang dulu banyak dipenuhi toko besi?lalu ke Tanjungpriok, Jakarta Barat. Tidak mau mengaku di mana tempat berjualannya, ia pernah dicurigai menjual barang-barang curian.

?Saya sempat putus asa,? kata Sukyatno. Pamannya memberi pelajaran: ?Kalau kamu datang sekali enggak bisa, datangi seribu kali. Kalau itu saja kamu enggak bisa, berarti kamu goblok.?

Sambil tetap berjualan barang, Sukyatno juga mencoba jadi tengkulak jual-beli tanah dan agen pengurusan surat izin mengemudi. Sampai pada suatu ketika, 1978, ia menjadi pemborong, membangun rumah dinas pesanan sebuah departemen. ?Ketika bangunannya hampir jadi, saya mau dikeroyok orang kampung. Ternyata itu tanah sengketa,? tuturnya. Akibatnya, ia terpuruk utang, sampai untuk bayar uang sekolah anaknya saja ia tidak mampu.

Ternyata Sukyatno mampu bangkit. Setelah membuka salon, ia membuat usaha es teler, terinspirasi mertuanya yang menang lomba membuat es teler. Namanya Es Teler 77 Juara Indonesia, pertama kali dibuka pada 7 Juli 1982. Selain mudah diingat, 77 adalah angka keberuntungan, katanya. Dari tenda-tenda di emperan pertokoan, ia pindah ke Jalan Lombok I dan Jalan Pembangunan, keduanya di Jakarta Pusat, karena digusur. Di dua tempat ini masih berkonsep kaki lima juga.

Lalu, bermodal nekat, pada 1987 ia pun membuka franchise di Solo dan Semarang, Jawa Tengah, sampai sekitar seratus buah. Ia akhirnya mulai masuk plaza, 1994. Selain es teler, ia juga berjualan mi tektek dan ikan bakar.

Walau sudah sukses, Sukyatno tetap merasa rakyat kecil. Menurut dia, itu karena ia terbiasa hidup sengsara sejak kecil?pada usia enam tahun sudah ditinggal ibunya, Lee Kien Nio, yang meninggal. ?Sampai sekarang saya masih senang makan di kaki lima, pakai pakaian biasa-biasa,? katanya.

Berkeinginan keras dan tekun, pantang menyerah, dan fokus menekuni satu bidang usaha merupakan kiat sukses Sukyatno.

Menikah dengan Yenny Setia Widjaja, yang saat itu juga berjualan, 1970, Sukyatno ayah tiga anak. Ia sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya, yang semuanya disekolahkan ke luar negeri. Ia juga mendidik mereka agar punya kepedulian sosial.

http://allah-semata.org/forum/index.php?topic=147.0

Bob sadino

Bob Sadino (Lampung, 9 Maret 1933), atau akrab dipanggil om Bob, adalah seorang pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Ia adalah pemilik dari jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Dalam banyak kesempatan, ia sering terlihat menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek yang menjadi ciri khasnya. Bob Sadino lahir dari sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Sewaktu orang tuanya meninggal, Bob yang ketika itu berumur 19 tahun mewarisi seluruh harta kekayaan keluarganya karena saudara kandungnya yang lain sudah dianggap hidup mapan.


Bob kemudian menghabiskan sebagian hartanya untuk berkeliling dunia. Dalam perjalanannya itu, ia singgah di Belanda dan menetap selama kurang lebih 9 tahun. Di sana, ia bekerja di Djakarta Lylod di kota Amsterdam dan juga di Hamburg, Jerman. Ketika tinggal di Belanda itu, Bob bertemu dengan pasangan hidupnya, Soelami Soejoed.

Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2 Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan. Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.

Pekerjaan pertama yang dilakoninya setelah keluar dari perusahaan adalah menyewakan mobil Mercedes yang ia miliki, ia sendiri yang menjadi sopirnya. Namun sayang, suatu ketika ia mendapatkan kecelakaan yang mengakibatkan mobilnya rusak parah. Karena tak punya uang untuk memperbaikinya, Bob beralih pekerjaan menjadi tukang batu. Gajinya ketika itu hanya Rp.100. Ia pun sempat mengalami depresi akibat tekanan hidup yang dialaminya.

Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.

Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap orang asing.

Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun. Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu, lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market (pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan pendek dan celana pendek.

Bisnis pasar swalayan Bob berkembang pesat, merambah ke agribisnis, khususnya holtikutura, mengelola kebun-kebun sayur mayur untuk konsumsi orang asing di Indonesia. Karena itu ia juga menjalin kerjasama dengan para petani di beberapa daerah.

Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan, komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.

Di saat melakukan sesuatu pikiran seseorang berkembang, rencana tidak harus selalu baku dan kaku, yang ada pada diri seseorang adalah pengembangan dari apa yang telah ia lakukan. Kelemahan banyak orang, terlalu banyak mikir untuk membuat rencana sehingga ia tidak segera melangkah. “Yang paling penting tindakan,” kata Bob.

Keberhasilan Bob tidak terlepas dari ketidaktahuannya sehingga ia langsung terjun ke lapangan. Setelah jatuh bangun, Bob trampil dan menguasai bidangnya. Proses keberhasilan Bob berbeda dengan kelaziman, mestinya dimulai dari ilmu, kemudian praktik, lalu menjadi trampil dan profesional.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.

Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaik-baiknya.

Bob menempatkan perusahaannya seperti sebuah keluarga. Semua anggota keluarga Kem Chicks harus saling menghargai, tidak ada yang utama, semuanya punya fungsi dan kekuatan.

Anak Guru

Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg, Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri. Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.

Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu, kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.

Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. ”Hati saya ikut hancur,” kata Bob. Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal, kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, ”Sayalah kepala keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.”

Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan sebuah ”warung” shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985 menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.

”Saya hidup dari fantasi,” kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp 1.000 per kilogram. ”Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga segitu,” kata Bob.

Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya. Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.

Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz. Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.


Lahir :
Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933
Agama :
Islam

Pendidikan :
-SD, Yogyakarta (1947)
-SMP, Jakarta (1950)
-SMA, Jakarta (1953)

Karir :
-Karyawan Unilever (1954-1955)
-Karyawan Djakarta Lloyd, Amsterdam dan Hamburg (1950-1967)
-Pemilik Tunggal Kem Chicks (supermarket) (1969-sekarang)
-Dirut PT Boga Catur Rata
-PT Kem Foods (pabrik sosis dan ham)
-PT Kem Farms (kebun sayur)

http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/12/biografi-bob-sadino-pengusaha-sukses.html

Profil

Saya di lahirkan di Tegal Pada tanggal 28 Agustus 1993 dengan bantuan bidan ..
Orang tua ku bernama Ani Mulyani dan Kosim Chlimi ..
Saya tinggal di Tegal sampai aku duduk di bangku kelas 4 SD kaligayam 1 .
Kelas 5 Sd aku pindah ke Jakarta dan sekolah di SD 013 Pagi .
Aku lulus dengan peringkat yang bagus dan aku diterima di sekolah yang aku inginkan yaitu SMPN 182 Jakarta 
di smp itu Aku sangat verusaha keras dalam belajar karena di sana banyak sekali orang - orang yang berprestasi.
Saat aku kelas 3 Smp aku harus pindah rumah Di jagakarsa sehingga aku konsentrasi dalam belajar karena jarak antara rumah dan sekolah sangat jauh .
Akhirnya aku lulus dari Smp dan diterima di SMKN 25 Jakarta di bidang Penjualan.
Banyak sekali yang aku alami di Smkn 25 ini baik saat - saat di kelas maupun saat di organisasi .
Saat kelas 2 smk aku harus kembali pindah rumah ..
dan sampai sekarang saat aku berusia 17 tahun aku sudah pindah rumah hampir 4 kali pindah .
Dalam perjalanan hidupku,aku memiliki visi & misi ..
Visi : selalu menjadi yang terbaik
Misi :- Berusaha selalu menjadi yang terbaik di manapun berada (belajar)
        - menyenagkan kedua orang tua ..
        - Lulus dengan nilai yang memuaskan

Semoga apa yang aku inginkan dapat tercapai ..
Amin :)